Kamis, 09 Oktober 2008

cerpen : Hitam Putih

Awan mendung mengiringi hari kelabu . Semilir angin lewat bersama seuntai doa dari hati yang berduka. Isak tangis terdengar bersama dengan lagu-lagu sendu yang dinyanyikan. Rasa sedih teramat sangat membungkus orang-orang disini tanpa ampun. Hanya ada satu orang yang terlihat berbeda dengan yang lain. Sosok yang rupawan. Tampan. Dan putih…sangat putih. Seperti bersinar dan menerangi gelapnya suasana hari ini.
Hitam…hitam…hitam…hitam…

Aku terpaku. Bertanya-tanya dalam hati dan berkedip sekali. Siapa dia dan mengapa ia begitu putih? Mengapa ia terlihat ikut bersedih? Putih dan hitam tidaklah sama. Seharusnya putih tidak bersedih karena hitam yang empunya kesedihan. Putih juga jarang berada di tengah-tengah hitam.
Aku melihat tetes air mata. Mulai membasahi pipinya. Menangis… Kenapa?
“Sesuatu mengganggu hatimu?”
“Sangat…Aku ikut bersedih, kawan.”
“Mengapa? Kau putih… Mengapa ikut bersedih?”
“Hitam dan putih memang berbeda. Tetapi jiwa kita dekat…sangat dekat. Kawan, sudah waktunya aku pergi. Tenangkanlah hatimu. Hitam tak harus seburuk hitam. Putih tak harus sebaik putih. Carilah putih dalam dirimu.”
Ia pergi. Menjauh dan menjauh…
Aku termenung. Benarkah dalam diriku ada putih? Mengapa selama ini aku tak pernah tahu? Aku dididik sebagai hitam. Tak mungkin putih ikut bersanding dalam hatiku. Aku pernah bercita-cita melepaskan hitam dan pergi menjadi putih. Namun itu hanya mimpi. Mana bisa terjadi…
Hitam…hitam…putih…putih…

Aku ingin menjadi putih. Kamu terlahir sebagai hitam. Aku tidak suka berada di tengah hitam. Mereka temanmu. Hanya kesedihan yang menyelimuti kita. Kesedihan menemani kita berjalan dalam hidup. Tidak bisa bersedih terus. Kamu sudah besar, kamu harus menjadi hitam sejati. Aku tidak mau. Nanti juga kamu mengerti. Pasti bisa menjadi putih.
Hitam…putih…hitam…putih…

Aku pergi mengendap-endap ‘tuk melihat putih bernyanyi. Merdu dan indah. Nyanyiannya tidak sendu. Wajah mereka berbeda dengan hitam. Tawa ceria dimana-mana. Awan biru menawan menaungi mereka bermain. Segala rasa gembira ada disini. Aku merasakan hawa bahagia mulai merabaku sedikit demi sedikit.
“Hai kawan, kau ada disini?”
Aku terkejut. Aku ketahuan.
“Jangan takut, kawan. Maaf aku tak bermaksud membuatmu tekejut.”
“Kau tidak takut berkawan dengan hitam?”
“Mengapa harus takut? Hitam dan putih memang seharusnya berkawan bukan? Hitam takkan ada artinya jika tidak ada putih. Begitu juga dengan putih. Putih hanya seonggok makhluk yang tak berdaya jika hitam tidak membantu.”
“Tetapi…tetapi…aku ingin menjadi putih. Bisakah kau menolongku?”
“Hahaha…kamu lucu sekali. Hitam tetaplah hitam, kawan. Putih pun tetaplah putih. Kita tidak mungkin bertukar tempat. Hitam memiliki jiwa sendiri. Kau seorang hitam sejati. Dan aku seorang putih sejati. Tetapi kita harus bersatu ‘tuk berjalan bersama dalam kerikil hidup. Janganlah takut menjadi hitam. Kau baru melihat satu sisi dari putih. Makanya kau hendak menjadi putih. Cobalah untuk bertahan menjadi hitam. Kau akan tahu betapa manisnya hitam. Dan betapa rumitnya putih.”
“Benarkah?”
“Kita tetap bisa berkawan kan?”
“Ya, kurasa begitu.”
Hitam…putih…hitam…putih…


Jakarta, 5 Juni 2006

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Hihihihi...
akhirnya gw bisa kasih komen jg..

lo masukin yang ni ya na..
hehehehe...
gw suka kalimat2 di awal paragraf
[Milla]

Anatasia Noorsaputera mengatakan...

baru yg ini mil hehe...

yg lain blm...

AKUNDA 1975 mengatakan...

Tulisanmu boleh juga! Gi mana kalo aku pesan 'cerita pendek sekali' yang isinya menggugah kawula muda untuk meneliti 'alam semesta di antara 7 langit dan 7 bumi'. Karena dengan penelitian ilmiah itu, kaum intelektual muda jadi pelopor kebangkitan iptek di "Indonesia Mercusuar Dunia". Siarkan ajakan ini ke relasi kamu sejagad! Nuhun.

Salam,
Suhandayana

AKUNDA studio
http://akunda75.blogspot.com

phone:
+6231 7187 0203
+6281 7512 9600

e-mail:
akunda75@gmail.com
suhandayana@yahoo.co.id